Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Minggu, Februari 27, 2011

Demokrasi Yogyakarta bung

Sofian Effendi: Demokrasi Londo Tak Cocok untuk Yogyakarta
________________________________________
Sabtu, 18/12/2010 18:10 WIB
RUUK Yogyakarta
Sofian Effendi: Demokrasi Londo Tak Cocok untuk Yogyakarta

Yogyakarta - Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Sofian Effendi, menilai demokrasi model barat belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Salah satunya dalam kasus Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta saat ini terutama masalah kontroversi penetapan atau pemilihan untuk pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur.

Menurut Sofian, demokrasi pada dasarnya merupakan sistem pemerintahan yang disenangi rakyatnya, sehingga rakyat taat pada pemerintah. Namun, ada kekeliruan dalam konstitusi di Indonesia. Yaitu, penyusunannya tidak berakar pada budaya masyarakat. Sebaliknya mencontoh langsung sama persis budaya asing tersebut.

"Kenapa kita harus pakai demokrasi cara Londo (Belanda atau barat), yang belum cocok dengan kondisi sosial masyarakat Yogyakarta. Ini salahnya," ungkap Sofian dalam pertemuan dengan DPD RI dan DPRD DIY untuk membahas RUUK Yogyakarta di gedung DPRD DIY di Jl Malioboro, Sabtu (18/12/2010).

Menurut dia, hak atas keistimewaan DIY yang telah diberikan itu bukan hanya kepada pimpinan daerah, namun kepada daerah dan seluruh rakyat di daerah tersebut. Namun, pemerintah saat ini cenderung untuk mereduksi keistimewaan hanya dalam ranah penetapan/pemilihan kepala daerah saja.

Dalam pertemuan selama lebih kurang 3 jam itu, dihadiri anggota DPRD DIY, anggota Komite I DPD RI yang dipimpin Dani Anwar, adik Sultan HB X, GBPH Joyokusumo serta sejumlah tokoh masyarakat cendekiawan dan budayawan.

Sabtu (18/12) pagi melakukan pertemuan dengan DPRD DIY, membahas usulan draf RUUK DIY dari DPD RI. Turut hadir di dalam kesempatan ini, para budayawan, cendekiawan, dan tokoh masyarakat dari Yogyakarta.

Sementara itu, menurut Achiel Suyanto, seorang praktisi hukum di Yogyakarta, pemerintah bisa terkena impeachment karena melanggar konstitusi. Menurut dia, usulan adanya gubernur utama itu jelas tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia.

"Ini jelas melanggar dan pemerintah bisa diimpeachment," katanya.

Saat menanggapi hasil pertemuan itu, Dani Anwar mengatakan DPD RI yakin dengan pernyataan dan ungkapan warga Yogyakarta selama ini yang menginginkan penetapan gubernur dan wakil gubernur DIY. Oleh karena itu pihaknya bersemangat untuk merealisasikan konsep RUUK DIY.

"Kasus RUUK Yogyakarta sudah merupakan pertarungan gengsi sehingga bisa mempertaruhkan apapun. Bukan lagi akademis," ujar dia.
http://www.detiknews..com/read/2010/1...ta?nd992203605


Keistimewaan Yogyakarta, Monarki, dan Demokrasi
Setelah dibuat resah oleh wedhus gembel, publik Yogyakarta kini kembali diresahkan dengan masalah keistimewaan Yogyakarta yang RUU-nya sampai kini belum ada penyelesaiannya. Topik tentang keistimewaan Yogyakarta ini kembali mencuat setelah Presiden SBY mengeluarkan pernyataan yang agak sensitif bagi Yogyakarta.

Dalam Sidang Kabinet, 26 Nopember, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, dimana nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan serta tidak boleh ada sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi.

Pernyataan tersebut mengganggu Sultan HB X yang adalah juga Gubernur DIY. Sehari setelah pernyataan Presiden SBY tersebut, Sultan HB X pun mengatakan, "DIY bukan monarki. Namun jika jabatan gubernur yang dijabat Sultan Yogyakarta dianggap pemerintah pusat sebagai penghambat proses penataan DIY, saya bersedia meninjau kembali jabatan gubernur tersebut."

Akibat pernyataan 2 tokoh ini masyarakat dan media kembali memperbincangkan soal keistimewaan Yogyakarta. Benarkah DIY menganut sistem monarki? Benarkah tidak ada demokrasi di Yogyakarta?

Sebelumnya, kita flash back sejenak. Jauh-jauh hari sebelum Republik ini berdiri yakni tahun 1945, di Yogyakarta sudah ada 2 negara yang berdaulat, yakni Negari Ngayogyakarta Hadiningrat yang saat itu diperintah Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, dan Kadipaten Paku Alaman dibawah Sri Paku Alam VIII.

Sebagai negara yang berdaulat, keberadaan kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat diakui Pemerintah Kolonial Belanda. Lalu setelah Belanda menyerah kepada Jepang dan bumi nusantara dikuasai Jepang, Sultan HB IX bersikeras agar Yogyakarta tetap dibawahnya dan tidak jatuh dibawah kekuasaan Jepang. Sebagai penjajah baru yang ingin menarik simpati rakyat, maka Jepang melalui Penguasa Militer Dai Nippon di Jakarta mengangkat Sultan HB IX sebagai penguasa tunggal di Yogyakarta.

Setelah Jepang kalah dari Sekutu, Sultan yang berpendidikan Belanda sama sekali tidak mendukung Belanda yang ingin kembali menjajah bumi pertiwi. Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII, malah mendukung RI yang baru saja berdiri.

Tanggal 5 September 1945, Sultan HB IX dan Sri Paku alam VIII mengeluarkan 'Amanat' yang merupakan maklumat politik yang ditujukan kepada segenap rakyat Yogyakarta dan dikirimkan kepada Presiden Sukarno, yang berupa penegasan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ya, 2 negara yang telah lama berdaulat itu menggabungkan diri dengan negara yang baru saja terbentuk, yang masih sangat labil dalam segala aspek, baik politik, keamanan, sosial dan ekonomi. Ini adalah sebuah langkah yang sangat berani mengingat wilayah RI saat itu masih sangat terbatas, yakni sebagian Sumatra, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Lalu saat situasi gawat sebagai akibat Perjanjian Linggarjati antara RI dan Belanda, Sultan HB IX memberi tempat perlindungan kepada para pemimpin RI dan memberikan wilayah Yogyakarta sebagi ibukota perjuangan RI.

Saat peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Sultam HB IX memiliki andil yang sangat besar. Ketika itu kraton dijadikan tempat persembunyian para pejuang RI, dan Belanda mengetahuinya. Tentara-tentara Belanda dengan tank-tank yang mengarah ke kraton mengepung. Namun saat Sultan HB IX keluar, tentara-tantara Belanda itu ciut nyali. Mereka tak berani menginjakkan kaki ke kraton dan mundur.

Karena telah mendukung penuh RI, maka tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah RI memberikan status istimewa kepada Yogyakarta dan Aceh.

Sumbangsih Sultan HB IX sangat besar untuk negeri ini, temasuk di dunia pendidikan. Tanah yang digunakan untuk kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah tanah kesultanan. Juga kampus Universitas Widya Mataram.

Meski seorang Raja, Sultan HB IX adalah seorang yang merakyat. Sebenarnya hal ini sudah mulai terlihat saat beliau dinobatkan menjadi Sultan, yakni dalam pidato yang berjudul Tahta Untuk Rakyat. Hal ini menunjukkan komitmennya terhadap rakyat, bahkan hal itu tercermin dalam kesehariannya.

Dalam sebuah buku, kalau tak salah judulnya Tahta Untuk Rakyat (maaf, saya lupa karena sudah sangat lama... ), sebuah buku tentang biografi Sultan HB IX, terkuak sebuah cerita betapa dekatnya ia dengan rakyat. Pernah suatu ketika Sultan dalam perjalanan dengan kendaraannya. Beliau membantu seorang ibu pedagang pasar dan mengantarkannya sampai ke pasar Beringharjo. Ibu bakul pasar yang tak tahu siapa yang mengantarkannya itu, malah menyuruh-nyuruh Sultan untuk mengangkat-angkat barang seperti kuli, dan Sultan pun menurutinya. Setelah Sultan pergi, ada yang memberi tahu pada si ibu bakul pasar tadi bahwa yang telah mengantar dan mengangkut barang-barangnya itu tak lain adalah Ngarsa Dalem, si ibu itu konon, langsung pingsan...

Lalu saat menjabat sebagai Menteri, Sultan HB IX seringkali bolak-balik Yogyakarta-Jakarta dengan menyetir mobilnya sendiri. Selama dalam perjalanan itulah, mobil Sultan sering distop orang yang mencari tumpangan karena memang saat itu kendaraan sangat jarang. Dan Sultan memberi tumpangan di sepanjang jalan Jakarta-Yogyakarta dengan..., gratis!

Pengabdian Sultan HB XI diteruskan putranya, Sultan HB X. Saat demo besar-besaran menentang Orde Baru dan menuntut Reformasi di tahun 1998, ada kerushan di mana-mana. Tapi keadaan di Yogyakarta relatif kondusif karena sosok Sultan HB X. Dan Sultan HB X adalah salah satu tokoh dalam deklarasi Ciganjur.

Tahun 2008 saat Sultan HB X mengisyaratkan untuk tidak lagi bersedia menjadi Gubernur DIY, ribuan rakyat melakukan sidang rakyat di halaman gedung DPRD DIY, yang intinya tetap mendukung Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Selain itu ribuan rakyat dari berbagai penjuru DIY juga melakukan pisowanan agung, yakni berbondong-bondong datang dan berkumpul di alun-alun utara untuk berdialog dengan Sultan.

Adalah kehendak rakyat Yogyakarta agar tetap dipimpin Sultan. Adalah kehendak rakyat Yogyakarta agar segala sesuatu yang membuat Yogyakarta istimewa tetap dipertahankan, selain faktor sejarah. Adalah kehendak rakyat jika monarki itu tetap ada. Hal itu tak lain karena monarki yang ada di Yogyakarta adalah bukan monarki absolut yang sama sekali tidak melibatkan rakyat. Monarki di Yogyakarta adalah monarki terbatas. Monarki kultural.

Bukti bahwa Yogyakarta tidak menerapkan sistem monarki absolut tapi justru menerapkan sistem demokrasi adalah adanya pilkada di 4 Kabupaten dan 1 Kota. Ada DPRD. Juga adanya pilihan lurah di tingkat desa, yang pelaksanaannya pun secara esensial sama dengan pemilu atau pilkada. Selain itu, di saat-saat yang dianggap urgen, ada pisowanan agung dimana rakyat berdialog dan menyatakan kehendaknya kepada Sultan.... Nah, apakah ini bukan demokrasi?

Dengan demikian, haruskah keistimewaan Yogyakarta diutak-atik atau bahkan dihapus? Haruskah mengabaikan keinganan rakyat Yogyakarta itu sendiri? Padahal keistimewaan Yogyakarta sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam pasal 18B UUD 1945 disebutkan bahwa "negara untuk mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang."

Jadi, bisakah dikatakan kalau monarki di Yogyakarta bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi?

KOMPAS.com — Terus tertundanya pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta lebih dari tujuh tahun menyisakan polemik di pengujung tahun 2010. Padahal, RUU ini menjadi salah satu prioritas Program Legislasi Nasional di DPR tahun ini. Sementara pemerintah tak kunjung menyerahkan draf RUU kepada Dewan.

Rasa jenuh masyarakat, terutama warga Yogyakarta, seakan mencapai puncaknya. Kejenuhan seolah berubah menjadi api ketika disiram pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat terbatas kabinet, Jumat (26/11/2010) lalu, tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta.

SBY menyebutkan ada tiga pilar yang harus diperhatikan dalam penyusunan RUU ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, keistimewaan DIY berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan sesuai dengan UU, serta aspek Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi. Setelah itu SBY melontarkan pernyataan yang menjadi kontroversi hingga hari ini.

"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," katanya.

Kontan, publik terkejut. Pernyataan SBY dinilai mengada-ada. Reaksi keras pun terus bermunculan. Apalagi, SBY hingga kini belum pernah mengonfirmasi pernyataannya itu secara langsung.

Di berbagai media Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X juga mengaku bingung dengan pernyataan SBY, terutama dengan penggunaan istilah "monarki". Menurut Sultan, pemerintahan daerah di DI Yogyakarta memiliki sistem dan manajemen organisasi yang sama dengan provinsi lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, serta peraturan pelaksanaannya.

Bahkan, Sultan menegaskan akan mempertimbangkan kembali jabatannya jika pemerintah pusat mengganggu penataan pemerintahan di DIY terkait dengan pemilihan atau penetapan gubernur. Sultan juga tidak ingin masyarakat luas menilai bahwa pemerintahan daerah di DI Yogyakarta bersifat monarki dan bertentangan dengan demokrasi. Sementara itu, mayoritas masyarakat Yogyakarta yang pro-penetapan kemudian menggulirkan usul referendum.

Pernyataan Sultan disusul oleh berbagai pernyataan dari berbagai kalangan. Seperti ada amarah di balik pernyataan yang susul-menyusul dan menggelembungkan monarki sebagai isu nasional yang menghiasi halaman media dalam sepekan ini.
Mengapa rakyat marah?

Mengapa rakyat marah? Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menegaskan, SBY salah menempatkan strategi komunikasinya dan juga salah momentum. Karena pernyataan beberapa menit, SBY menyebar dampak yang kontraproduktif kepada dirinya sendiri dan polemik kepada masyarakat.

Salah strategi komunikasi karena SBY tidak menyasar langsung pokok persoalan tertundanya pengajuan draf RUU Keistimewaan Yogyakarta, yaitu pasal yang terkait dengan tata cara penetapan Kepala Daerah di DI Yogyakarta.

"SBY malah muter-muter ke arah monarki yang dikontraskan dengan demokrasi. Pokok persoalan di RUU ini kan yang membuat belum disepakati hanya satu pasal, yaitu soal kepala daerah ditetapkan seperti apa. SBY justru malah berkomentar soal monarki yang dianggapnya tidak kompatibel dengan demokrasi," tuturnya.

Burhanuddin menilai SBY membuat blunder dengan melontarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, ada dua macam monarki, yaitu monarki konstitusional dan monarki absolut. Sayangnya, lanjut Burhanuddin, SBY hanya menyebutkan monarki yang tidak sejalan dengan demokrasi. Padahal monarki konstitusional adalah monarki yang sejalan dengan demokrasi.

"Ketika SBY hanya menyebut monarki yang tidak kompatibel dengan demokrasi, jelas membuat masyarakat Yogyakarta tersinggung. Karena Keraton Yogyakarta sudah menjadi bagian dari sejarah masyarakat Yogya dan kontribusinya terhadap RI juga tidak kecil. Pernyataan SBY ini menimbulkan kesan ingin melucuti keistimewaan Yogya dan membenturkan keraton dengan demokrasi," ungkapnya kepada Kompas.com, Rabu sore.

Anggota Komite I DPD, Paulus Yohanes Sumino, juga mengatakan, wajar saja jika masyarakat Yogyakarta berang dengan pernyataan SBY tersebut. Dari hasil kunjungan DPD ke Yogyakarta beberapa waktu lalu, Paulus mengatakan, warga Yogyakarta tidak merasa kepemimpinan Sultan selama ini bertentangan dengan demokrasi.

Menurutnya pula, demokrasi berarti kekuasaan ada di tangan rakyat. Selama ini, demokrasi di Yogyakarta ditunjukkan dengan kehendak rakyat yang memberikan kepercayaan langsung kepada Sultan untuk memimpin daerah. Penetapan langsung itu merupakan model demokrasi yang berlaku di Yogyakarta. Maka, Paulus pun turut bertanya mengenai alasan SBY membenturkan sistem tersebut dengan pengertian demokrasi.
"Karena rakyat Yogyakarta kan sudah merasakan sikap Sultan itu tidak monarki, tidak bersikap sebagai seorang raja yang otoriter. Tidak seperti itu. Jadi kalau Sultannya difitnah monarki, rakyat pasti marah," tegasnya kepada Kompas.com, Rabu (1/12/2010).
Selain itu, Burhanuddin ataupun Paulus juga menilai pernyataan SBY dilontarkan dalam momen yang tidak tepat ketika Yogyakarta masih juga belum pulih dari bencana alam akibat meletusnya Gunung Merapi. Maka, lanjut Burhanuddin, lengkaplah kesalahan SBY.

Ini Bukti Yogyakarta Demokratis Bukan Monarki
Rabu, 1 Desember 2010 - 18:34 wib
Ferdinan - Okezone

Ilustrasi (Foto: Koran SI)
JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Paulus Yohanes menampik anggapan yang menyebut Yogyakarta menganut sistem monarki. Paulus berpendapat, Yogyakarta tetap menerapkan sistem demokratis dengan keistimewaan tersendiri.

Paulus menjelaskan keistimewaan Yogyakarta diakui secara konstitusional dalam Pasal 18 UUD 1945. Masyarakat Yogyakarta sendiri memilih langsung menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

"Tidak perlu ditabrakan dengan istilah monarki. Pemilihan Sultan dengan mekanisme keraton untuk kemudian ditetapkan sebagai gubernur, apa itu bertentangan dengan demokrasi? Demokrasi adalah suara rakyat dan dalam hal ini rakyat Yogya menginginkan penetapan langsung," jelas Paulus dalam jumpa pers di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (1/12/2010).

Alasan kedua, yang membuktikan Yogyakarta menganut prinsip demokrasi adalah mengenai tata kelola pemerintah. Paulus menyebut proses pemilihan bupati di Yogyakarta tetap mengikuti aturan pemerintah daerah yang berlaku.

"Di Yogyakarta ada DPRD yang bertugas menyusun peraturan pemerintahan daerah. Bupati pun dipilih sesuai Undang-Undang. Lalu dimana letak monarkinya? Kalau sistem kerajaan mana ada DPRD," tandas anggota tim kecil pembahasan RUU Keistimewaan DIY ini.

DPD, sambung Paulus, mendesak pemerintah dan DPR khususnya Komisi II segera melakukan pembahasan RUU Keistimewaan DIY. Pasalnya, lambannya proses pengesahan membuat situasi menjadi tidak kondusif. Situasi kian bertambah buruk lantaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut sistem monarki yang tidak bisa diterapkan di negara demokrasi.

Pernyataan SBY ini berkaitan dengan proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang ditetapkan secara langsung tanpa proses pemungutan suara sebagaimana dilakukan 32 provinsi lainnya di Indonesia.

"Mudah-mudahan statement SBY hanya pikiran kritis bukan sikap politik karena keistimewaan Yogya harus dipertahankan," tutup Paulus.(ful)

Kamis, Januari 27, 2011

Kisah Mengharukan : "aku mau bayar waktu Ayah Setengah Jam"

Kisah Mengharukan

Sudah cukup lama juga ana meninggalkan blog ini,,
Memang konsistensi perlu sih kalo kita pengen melakukan setiap hal.
Dan tampaknya kali ini konsistensi saya juga perlu dipertanyakan juga ,hahaha

Untuk pembuka dari kevakuman saya,saya hendak memajang sebuah kisah yang saya dapat di forum kaskus,,
Ceritanya lumayan menyentuh,,dan mungkin dengan membaca cerita berikut dapat menghindarkan kawan-kawan pembaca sekalian dari melakukan kesalahan yang sama.
Enjoy with a smile 

Kisah Mengharukan :”Aku Mau Bayar Waktu Ayah Setengah Jam”
________________________________________


Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sarah, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.

Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur ?” Sapa Andrew sambil mencium anaknya.
Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab,
“Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau Tanya berapa sih gaji Papa ?”
“Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Sarah singkat.
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10jam dan dibayar Rp. 40.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.
Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?”

Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya.
”Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur” perintah Andrew.
Tetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya,
“Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?”

“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah”.
“Tapi Papa…”

Kesabaran Andrew pun habis.
“Papa bilang tidur !” hardiknya mengejutkan Sarah.
Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.


Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sarah di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp.15.000,- di tangannya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata,
“Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih” jawab Andrew

“Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini”.
“lya, iya, tapi buat apa ?” tanya Andrew lembut.
“Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa.

Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.15.000,- tapi.. karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa” kata Sarah polos.

Andrew pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagiaan anaknya.

“For the whole world you may be a somebody,but for somebody you may be the world”

Sabtu, Juli 24, 2010

Prakata,,kawan,,Prakata. . .!

Hwah,,terinspirasi dari blog blog keren yang udah saya liat,,
saya juga jadi pengen punya blog sendiri,,
jadi deh saya bkin blog mendung abu abu ini.
Niatnya sih mao dijadiin smacam tempat buat nyimpen kenangan kenangan manis gua (emang gw punya gt kenangan manis?)

yah semacam diary gitu lah,,tapi ya bukan diary-diary yang buat curhatan cewek.lah kawan. . ..
Tapi untuk momen momen tertentu yang bisa dipublikasikan,,
(eh denger,gw blom ngaku tauk kalo idup gw emang 95% terlalu memalukan buat dipublikasikan ke khalayak ramai)

ni ada lagi yang nanyak,,

kenapa namanya mendungabuabu?

Terus apaan tuh kalimat sok puitis di header blog??

Saya jawab:
SUKA SUKA GUA DO. . . .Epss,,maksud saya,,
gni,,
gtw knapa kalo saya liat mendung,,rasanya tuh tenang bgt,,nyaman gt,,
bukannya puitis dink,tapi emang itu yang saya rasain,ada perasaan tersendiri,,
beda ama ibu ibu yg juga punya perasaan "tersendiri" kalo mendung gara" blom ngangkutin jemuran,hoho.
Jadi yah,buat pembaca,
nikmatin aja lah,,
(pasti bisa dinikmatin kan?walopun dikit. .)
:-D